“Enak ya cokelatnya? Tapi lebih enak  lagi kalau kamu membelinya. Bukan mengambilnya dari Toko Tujuh milik Pak  Rahman.”
Dodi semakin terkejut. Ini adalah surat kelima  yang ditemuinya di dalam tas sekolahnya. Seperti keempat surat  sebelumnya, surat ini berisi perbuatan nakal yang dilakukannya. Tadi  siang, dia mengendap-endap masuk toko Pak Rahman dan mencuri sebatang  cokelat kesukaannya. Iseng betul sih si penulis surat misterius ini.  Misterius? Ya, karena tidak ada nama si penulis di surat tersebut. “Tapi  kok dia bisa tahu apa yang kulakukan ya?”, pikir Dodi.
Dibacanya  lagi kelanjutan surat itu, “Ingat.  Ini peringatan terakhir. Aku tahu setelah ini kamu mau mencuri mangga  Pak Ikhsan kan. Tapi kali ini, kamu akan merasakan akibatnya”.  Dia teringat isi surat keempat yang berisi ancaman juga: “Kalau naik buskota bayar dong, jangan maunya  gratisan terus. Awas kalau kamu berbuat tidak jujur sekali lagi.”  Dodi mengerutkan dahi. Meskipun dia heran karena si penulis surat  mengetahui akal bulusnya mengelabui kondektur buskota, dia tidak takut  dengan ancaman itu. Toh tidak ada apapun yang terjadi setelah dia  mencuri cokelat tadi siang. “Apanya yang awas”, pikir Dodi.
Pertama  kali dia memperoleh surat misterius adalah ketika dia mengambil sepeda  Anto tanpa memberitahu teman sekelasnya itu, kemudian meninggalkannya di  lapangan dalam keadaan rusak karena menabrak pagar. Kemudian menyusul  surat kedua yang ditemukannya di dalam tas sekolahnya sehari setelah dia  mengambil dompet Ayu di kelas saat istirahat. Semua surat tersebut  menunjukkan bahwa si penulis mengetahui segala gerak-geriknya, termasuk  surat ketiga yang diperolehnya setelah dia memecahkan lampu lalu lintas  di perempatan dekat rumahnya dengan katapel.
“Kalau begitu, si  penulis surat itu pastilah orang yang aku kenal”, pikir Dodi. Dia  mencoba mengingat-ingat kepada siapa dia menceritakan semua kenakalannya  selama ini. Tidak mungkin si Iwan atau si Roni. Mereka bertiga adalah  kawan akrab sejak kecil, dan sama-sama suka menjahili orang lain. Kalau  mereka yang menulis surat itu, mereka sendiri juga akan ketakutan kalau  ketahuan semua perbuatan mereka dan menerima surat yang sama. Kemarin  dia menyelidiki semua orang yang menurutnya tahu perbuatannya, dan  sepertinya tidak ada yang patut dicurigainya menulis surat-surat  tersebut. Surat tersebut ditulis menggunakan mesin ketik, sehingga dia  tidak dapat mengenali siapa penulisnya. “Jangan-jangan Ibu yang membuat  surat itu?”, pikir Dodi. Tapi ibunya yang sangat sabar itu pasti akan  menasehatinya dengan halus, bukan dengan cara seperti ini. Atau Budi,  kakaknya? Ah, dia kan sibuk dengan kelompok ilmiahnya di sekolah.
Dibacanya  lagi surat tersebut. Dia tidak takut dengan ancaman yang tertulis di  dalam surat itu. “Jadi, malam ini akan kubuktikan bahwa surat ini tidak  ada artinya bagiku”, kata Dodi pada dirinya sendiri. Malam ini dia  berniat untuk mencuri mangga di rumah Pak Ikhsan. Dia merasa tertantang.
Malamnya,  dengan mengendap-endap, Dodi memanjat pohon mangga setelah Pak Ikhsan  menutup jendela rumahnya. Dilihatnya banyak mangga yang matang  tergantung di dahan bagian atas. Dengan sigap dia memanjat pohon itu  hingga mencapai dahan paling atas. Ditariknya buah mangga ranum yang  tergantung di ranting dekat tangannya. “Hmmmm, harum”, bisiknya puas  sambil membaui mangga tersebut dan memasukkannya ke sebalik kaosnya.  Beberapa mangga berhasil diambilnya dan baju kaosnya semakin  mengelembung.
Tiba-tiba terdengar dengus dari bawah. Dilihatnya  seekor anjing hitam menengok ke atas sambil menggeram. Ke arahnya!! Dodi  panik, tetapi dia tidak berani turun karena takut dikejar oleh anjing  itu. Anjing itu terus menatapnya, tetapi tidak menyalak sama sekali,  hanya menyeringai menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Dodi berusaha  untuk diam agar anjing tersebut tidak melihatnya dan segera pergi.  Tetapi anjing itu malah merunduk kemudian berbaring tepat di bawah pohon  mangga yang dipanjatnya. Pelan-pelan Dodi berusaha berpindah dari satu  dahan ke dahan lain tetapi tidak ada jalan untuk turun tanpa melewati  anjing itu. Dilemparnya anjing itu dengan mangga yang dipetiknya, tetapi  anjing itu hanya mendengus pelan, tidak beranjak sama sekali. Dodi  kemudian hanya bisa duduk di atas dahan menunggu anjing itu pergi.
Menit  berganti menit, beberapa jam telah berlalu, tetapi anjing itu masih  duduk terjaga. Hawa dingin menusuk kulitnya membuatnya menggigil.  Tangannya mulai lelah berpegangan pada batang pohon yang besar. Dodi  mulai terisak menangis, dia takut ayahnya akan memarahinya jika dia  tidak segera pulang. Tetapi dia terlalu takut untuk turun melewati  anjing bergigi tajam itu. Dia menyesal mengapa masih berani mencuri  mangga Pak Ikhsan meskipun sudah diperingatkan oleh surat itu. Dia juga  menyesali kenakalan yang diperbuatnya selama ini. “Andai saja aku tidak  suka berbuat nakal”, pikirnya.
Tangisannya makin lama makin  keras. Tiba-tiba pintu rumah Pak Ikhsan terbuka, dan terdengar siulan  ringan. Anjing itu berdiri lalu pergi. Dodi turun dengan pelan, tetapi  kakinya terlalu lemah untuk berdiri ketika sampai ke tanah. Dia terduduk  ketika dilihatnya tiga orang mendekat: Pak Ikhsan, Kak Budi, dan  ayahnya! Dodi merasa lemas melihatnya. Dia hanya bisa menebak-nebak  siapakah si penulis surat itu dan menebak-nebak pula hukuman apa yang  bakal diterimanya dari ayahnya
dapet dari mana tan ??
BalasHapus